Hallooooooo udah lama gak nulis lagi nih, ni mau coba aktif nulis lagi, jangan di ketawain ya, soalny dah lama banget gak nulisnya, maklum lagi Co-Asst (program dokter muda setelah jadi S,Ked. ni mau belajar lagi deh, tapi di mulai dari posting tugas-tugas ane ya brawh, buat medstud yang mau ngerjain tugas referat tentang "EDEMA PARU" yang biasanya sih adanya di Stase Interna, nah dari pada binggung nyaari di scribd tapi gak bisa didownload, mending disini aja dicopas... ahahahha tenang tentang kebenarannya sudah di uji di depan konsulennya langsung. dan inilah hasilnya hoho selamat blajar ya guys
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Edem paru akut adalah akumulasi cairan
di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau
karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan
hipoksia1.
Edem paru didefinisikan sebagai
akumulasi cairan di interstisial dan alveolus. Penyebab edem paru1,2:
- Kardiogenik
atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamik. Kausa: infark miokars,
hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/
diastolik dan lainnya.
- Nonkardiogenik/
edem paru permeabilitas meningkat. Kausa: ALI dan ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis edem paru
tersebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit karena manifestasi
klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan penyebab edem paru sangat penting
karena berimplikasi pada penanganannya yang berbeda1,3.
Edema paru-paru merupakan penimbunan
cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial
dan alveolus paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul
kematian dalam waktu singkat1.
Edema paru-paru mudah
timbul jika terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru,
penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding
kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang
berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal proses
oksigenasi1,2,3,4.
Penyebab yang tersering dari edema
paru-paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung
arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paru-paru yang disebabkan
kelainan pada jantung ini disebut juga edemaparukardiogenik, sedangkan
edema paru yang disebabkan selain kelainan jantung disebut edema paru non
kardiogenik1,3.
Edema paru nonkardiogenik adalah
penimbunan cairan pada jaringan interstisial paru dan alveolus paru yang
disebabkan selain oleh kelainan jantung1,3,4,5.
2.2 Anatomi dan
Fisiologis
Secara harafiah pernapasan berarti
pergerakan oksigen dari atmosfer menuju ke sel-sel dan keluarnya karbon
dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses pernapasan terdiri dari beberapa
langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler
memegang peranan yang sangat penting. Pada dasarnya, sistem pernapasan terdiri
dari suatu rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar
bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yang merupakan pemisah antara
sistem pernapasan dengan sistem kardiovaskuler8,13.
Saluran penghantar udara hingga mencapai
paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus atau
bronkiolus terminalis. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus
dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung,
udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini
merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks
bertingkat, bersilia dan bersel goblet8,13.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat
asinus yang merupakan unit fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang
memiliki kantung udara kecil atau alveoli pada dindingnya, (2) duktus
alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli, dan (3) sakusalveolaristerminalis,
merupakan struktur akhir paru-paru14.
Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu
gelembung gas yang dikelilingi oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara
cairan dan gas membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu
pengembangan pada waktu inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi.
Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi
terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada
waktu ekspirasi13.
Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium
paru oleh sel epitel alveoli tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu
barrier yang relatif non-permeabel terhadap aliran cairan dari interstisium ke
rongga-rongga udara. Fraksi yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler
paru yang dindingnya terdiri dari satu lapis sel endotel di atas membran basal,
sedang sisanya merupakan jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan
jaringan elastik, fibroblas, sel fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor
penentu yang penting dalam pembentukan cairan ekstravaskular adalah perbedaan
tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstisial,
serta permeabilitas sel endotel terhadap air, solut, dan molekul besar seperti
protein plasma. Faktor-faktor penentu ini dijabarkan dalam hukum starling13.
Edem
paru non kardiogenik
Edema paru non kardiogenik terjadi
akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam
ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada
jantung. Walaupun edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam
tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan.
Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab,
diantaranya seperti pada tabel di bawah ini4,11.
Beberapa
penyebab edeme paru non kardiogenik7,9,10,11,12,13
1.Peningkatkan permeabilitas
kapiler paru (ARDS)
·Secara
langsung
1.
Aspirasi asam lambung
2.
Tenggelam
3.
Kontusio paru
4.
Pnemonia berat
5.
Emboli lemak
2.
Emboli cairan amnion
2.
Inhalasi bahan kimia
3.
Keracunan oksigen
·Tidak
langsung
1.
Sepsis
2.
Trauma berat
3.
Syok hipovolemik
4.
Transfusi darah berulang
5.
Luka bakar
6.
Pankreatitis
7.
Koagulasi intravaskular diseminata
8.
Anafilaksis
3.
Peningkatan tekanan kapiler paru
1.
Sindrom kongesti vena
·§
Pemberian cairan yang berlebih
·§
Transfusi darah
·§
Gagal ginjal
1.
Edema paru neurogenik
2.
Edema paru karena ketinggian tempat (Altitude)
1.
Sindrom
nefrotik
2.
Malnutrisi
5.
Hiponatremia
Peningkatan
Permeabilitas Kapiler
Edema paru biasanya disebabkan
peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
sering juga disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS)9,15,16.
Pada keadaan normal terdapat
keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler
paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung
menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru9.
Pada tahap awal terjadinya edema paru
terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler
dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal
dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan
beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan
berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat,
kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam
keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat
yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga
terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal
(hipertensi pulmonal)9,15,16,19.
Aspirasi cairan lambung dapat
menyebabkan ARDS. Berat ringannya edema paru berhubungan dengan derajat
pH asam lambung dan volume cairan yang teraspirasi. Asam lambung akan tersebar
di dalam paru dalam beberapa detik saja, dan jaringan paru akan terdapar (buffered)
dalam beberapa menit sehingga cepat menimbulkan edema paru9.
Tenggelam (near
drowning). Edema paru dapat terjadi pada mereka yang selamat dari tenggelam
dari air tawar atau air laut. Autopsi penderita yang tidak bisa diselamatkan
menunjukan perubahan patologis paru yang sama dengan perubahan pada edema paru
karena sebab lain. Pada saat tenggelam korban biasanya mengaspirasi sejumlah
air. Air tawar adalah hipotonis, dan air laut adalah hipertonis relatif
terhadap darah, yang menyebabkan pergerakan cairan melalui membran
alveolar-kapiler ke dalam darah atau ke dalam paru. Resultante perubahan
konsentrasi elektrolit dalam darah sebanding dengan volume cairan yang diabsorpsi10,19.
Pneumonia.
Pemeriksaan histologis dan mikroskop elektron, edema paru pada infeksi paru menunjukan
perubahan yang sama dengan edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Mekanisme dikarenakan terjadinya reaksi inflamasi sehingga mengakibatkan
kerusakan endotel 10.
Emboli lemak. Mekanisme
terjadinya emboli lemak sampai saat ini masih belum jelas. Lemak netral
yang mengemboli paru jelas berasal dari lemak dalam sumsum tulang yang
dilepaskan oleh tenaga mekanik. Mungkin triolein dari lemak netral sebagian
dihidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh lipoprotein lipase dalam paru, dan
kerusakan utama pada paru disebabkan oleh asam lemak bebas. Namun demikian,
sebagian kerusakan paru mungkin terjadi melalui hipertensi pulmonal yang disebabkan
oleh embolisasi, trombositopenia yang diinduksi oleh lemak yang bersirkulasi,
atau koagulasi dan lisis fibrin dalam paru. Apa pun penyebabnya, gambaran
histologisnya sama dengan edema paru karena peningkatan permeabilitas, dengan
gambaran tambahan berupa globul lemak dalam pembuluh darah kecil dan lemak
bebas dalam ruang alveolar. Emboli lemak banyak ditemukan pada kasus patah
tulang panjang, terutama femur atau tibia10.
Inhalasi bahan kimia toksik.
Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi paru seperti yang
disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat disebabkan akibat
paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida
metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya. Fosgen adalah gas yang
sangat reaktif, dan banyak dihasilkan oleh industri-industri penghasil polimer,
pharmaceutical, dan metalurgi. Senyawa induk fosgen adalah chloroform dan gas
fosgen merupakan metabolit toksiknya. Jika terhisap oleh manusia pada
konsentrasi tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat adanya gangguan
keseimbangan cairan yang ada dan meningkatkan peroksida lipid dan permeabilitas
pembuluh darah10,20.
Keracunanoksigen.
Oksigen dalam konsentrasi tinggi ternyata toksik terhadap paru. Edema paru
dapat terjadi 24 –72 jam setelah terpapar oksigen 100%. Lesi yang ditimbulkan
secara
histologis
mirip dengan edema paru yang ditimbulkan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Di bawah mikroskop elektron, perubahan dini yang terjadi adalah
penebalan ruang interstisial oleh cairan edema yang berisi serat fibrin,
leukosit, trombosit, dan makrofag. Ini terjadi sebelum tampak kerusakan endotel9.
Sepsis.
Septikemia karena basil gram negatif infeksi ekstrapulmonal merupakan faktor
penyebab penting edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru9.
Inhalasi asap dan luka bakar saluran
napas. Kerusakan saluran napas telah lama
diketahui menjadi penyebab mortalitas utama pada penderita luka bakar
dan sekarang jelas bahwa inhalasi asap tanpa luka bakar termis juga menjadi
penyebab kematian utama. Jenis kerusakan saluran napas tergantung dari jenis
bahan yang terbakar dan zat kimia yang terkandung di dalam asap yang
ditimbulkan3.
Pankreatitis.
Pelepasan zat-zat seperti tripsin, fosfolipase A, dan kalikrein selama pankreatitis
diduga mendasari mekanisme terjadinya edema paru. Tingginya konsentrasi protein
cairan edema menyokong diagnosis ini9,19.
Sindrom
Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan
edema paru dapat terjadi pada penderita dengan kelebihan cairan intravaskular
dengan ukuran jantung normal. Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu
besar untuk terjadinya kongesti vena, karena vasokontriksi sistemik dapat
menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini
sering terjadi pada penderita yang mendapat cairan kristaloid atau darah
intravena dalam jumlah besar, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi retensi air).
Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti vena lebih lanjut 9,10,
Sindrom
kongesti vena (fluidoverload) ini sering terjadi pada penderita dengan
trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam jumlah besar untuk menopang
sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema paru. Keadaan ini sering
dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute respiratory distress
syndrome)9.
Edem
Paru Neurogenik
Keadaan
ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-kejang, atau
peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar mekanisme edema
paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus (akibat penyebab di atas)
yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang kemudian menyebabkan
pergeseran volume darah dari
sirkulasi
sistemik ke sirkulasi pulmonal dan terjadi penurunan pengisian ventrikel kiri Ã
tekanan atrium kiri meningkat dan terjadilah edema
paru10,19.
Pada
penderita dengan trauma kepala, edema paru dapat terjadi dalam waktu singkat.
Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan terjadinya edema paru pada
penderita pemakai heroin10,18.
Edem
Paru Karena Ketinggian Tempat
Penyakit
ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada ketinggian di atas
2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui, diduga
mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise)
merangsang peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal,
akibatnya terjadilah edema paru10,11,19.
Gejala-gejala yang paling sering
ditemukan adalah batuk, napas pendek, muntah-muntah dan perasaan nyeri dada.
Gejala-gejala tersebut terjadi dalam 6 –36 jam setelah tiba di tempat yang
tinggi10,11,19.
Tidak semua orang menderita penyakit
ini, bahkan orang-orang yang terkena penyakit ini pun tidak mendapatkan
gejala-gejala setiap kali terkena pengaruh tempat tinggi itu. Kesembuhan dapat
terjadi dalam waktu 48 jam serta selanjutnya penderita dapat tetap bertempat
tinggal di tempat tinggi tanpa gejala-gejala. Pengobatan suportif dapat
diberikan bila ada indikasi10,11,19.
Bagaimanapun penyakit ini dapat kambuh
kembali setelah penderita kembali ke daerah yang letaknya tinggi, setelah
berkunjung meski singkat ke daerah yang terletak lebih rendah10,11,19.
Edem
Paru Karena Sindrom Nefrotik
Walaupun edema hampir selalu ditemukan
untuk beberapa waktu dalam perjalanan penyakit dan merupakan tanda yang
mendominasi pola klinis, namun merupakan tanda yang paling variabel di antara
gambaran terpenting sindroma nefrotik, terutama edema paru10,15.
Mekanisme terbentuknya edema sangat
kompleks; beberapa faktor adalah: (1) Penurunan tekanan koloid
osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi albumin serum; bertanggungjawab terhadap
pergeseran cairan ekstraselular dari kompartemen intra-vaskular ke dalam
interstisial dengan timbulnya edema dan penurunan volume intravaskular. (2) Penurunan
nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorpsi tubular.
Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium tidak dimengerti secara
lengkap, tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume intravaskular
dan tekanan koloid osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi renin dan sekresi
aldosteron. (3) Retensi air8,15.
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma
dan retensi seluruh natrium yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk
berkembangnya edema pada sindrom nefrotik. Untuk timbulnya edema harus ada
retensi air15.
Pengobatan edema paru akibat sindrom
nefrotik ditujukan pada penyakit dasarnya. Pengobatan suportif diberikan bila
ada indikasi9,15.
Edem
Paru Karena Malnutrisi
Prinsip mekanisme terjadinya edema paru
pada malnutrisi hampir sama dengan sindrom nefrotik. Hipoproteinemia merupakan
dasar terjadinya edema8,15.
Aktivitas
yang Berlebihan
Pada penelitian yang dilakukan Ayus JC
dan kawan-kawan pada pelari maraton terdapat 18% dari 605 pelari marathon yang
mengalami edema paru akibat hiponatremia. Mekanisme ini disimpulkan bahwa pada
saat aktivitas meningkat (maraton) terjadi pengeluaran natrium melalui air
keringat, sehingga tubuh kekurangan natrium. Setelah selesai melakukan
aktivitas tubuh berusaha melakukan homeostatis, dengan mensekresikan ADH dan
terjadilah retensi air. Akibatnya terjadilah edema paru21.
Pada paru normal, cairan dan protein
keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel
kapiler ke ruangan interstisial sesuai dengan selisih antara tekanan
hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan
dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar terdiri atas ikatan
yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang interstisial,
cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian
dikembalikan oleh siistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma
dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk
filtrasi cairan keluar dari kirosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein10,11
Terdapat
dua mekanisme terjadinya edem paru1:
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat
perpindahan cairan `dari darah ke ruang interstisial atau ke alveoli yang
melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan
ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan,
koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruangan interstisial. Studi
eksperimental membuktikan bahwa hukum
Starling dapat
diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint)
–df(Iiv-Iint)]
Q =
kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial
Piv =
tekanan hidrostatik intravaskular
Pint =
tekanan hidrostatik interstisial
Iiv =
tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint =
tekanan osmotik koloid interstisial
Df =
koefisien refleksi protein
Kf =
kondukstan hidraulik
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk
menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan
yang lebih negatif di daerah interstisial peribronkhial dan perivaskular.
Dengan peningkatan kemampuan dari interstisium alveolar ini, cairan lebih
sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran
limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui
dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien
dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20
ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200
ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan
mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang
lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem. Sehingga sebagai konsekuensi
terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan
terkompresi1,4
Edem
Paru Kardiogenik
Edem paru kardiogenik atau edem volume
overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang
menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan
interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak
menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas
kapiler endotel tetap normal, maka cairan edem ayng meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal
akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan
edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika
tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan
lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut3,4
- meningkatnya
kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard
dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung
- hipoksemia
dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga
meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan
melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri
-
insufesiensi
sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edem dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif
natrium dan
klorida
melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar
tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif
ditranspor keluar ke ruang instrstisial dengan cara Na/K-ATPase yang terletak
pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan
melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada
epitel alveolar sel tipe I3,4
Edem paru akut kardiogenik ini merupakan
bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS ini
didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan
sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal1,3,4
Secara patofisiologi edem paru
kardiogenik ditandai dengan transudai cairan dengan kandungan protein yang
rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan
sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang
terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas1,3,4
Seringkali keadaan ini berlangsung
dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan
keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium
kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan
difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas
saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya
saluran nafas yang tertutup1,3,4
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat
berikutnya atau stage 2, edem interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada
daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh
darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal
secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada
derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh
darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium
yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang
kecil yang menimbulkan refleks nronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi aka mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan
dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut
misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan
baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea1,2,4
Edem paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edem paru nonkardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus.
Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran
pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh moleku besar seperti protein
plasma. Banyaknya cairan edem tergantung pada luasnya edem interstisial, ada
atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute lung injury di mana
terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan cairan alveolar1,4,5.
2.5. Manifestasi
Klinis
Gejala paling umum dari pulmonary edem
adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika
prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang
tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala umum lain mungkin
termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal
dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea),
kepeningan atau kelemahan3,4,5,23.
Tingkat oksigen darah yang rendah
(hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edem. Lebih
jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar
suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih
pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernafas)3,4,22.
Manifestasi
klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (23): Stadium 1
Adanya
distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO.
Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat
inspirasi.
Stadium 2
Pada
stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal
(garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial,
akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi
ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada
stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory
acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan
Braunwald,1988).
Edem
paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi edem paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan
mengurangi edem paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kadang-kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edem paru, tekanan
kapiler parunya normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan
edem secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau
kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas
alveolus kapiler parus ekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang reendah
seperti pada cardiogenic shock lung.
Edem paru kardiogenik ini merupakan
spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan
sebagai: munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi
jantung yang tidak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS
menjadi 6 klasifikasi yaitu4,5,24:
ESC 1 : Acute decompensated Heart
Failure ESC 2 : Hypertensive acute heart failure ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4
: Cardiiogenik shock’
ESC 5 : High output failure AHF
pada sepsis ESC 6 : Right heart failur
Bila edem paru kardiogenik disebabkan
oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaiknya, edem paru nonkardiogenik
disebabkan oleh peningkaan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus.
Cairan edem paru nonkardiogenik memiliki kadar protein kadar proein tinggi
karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh protein
plasma. Akumulasi cairan edem ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan
filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepaan cairan tersebu dikeluarkan dari alveoli
dan interstisial4,5,24.
2.6 Diagnosis
Tampilan klinis edem paru kardiogenik
dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan.
Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah
kausa edem paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat gejala yang
sesuai dengan gagal jantung kronik. Edem paru akut kardiak, kejadiannya sangat
cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini
merupakan pengalaman yang yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk
dan seperti seseorang yang akan tenggelam1,5.
Khas pada edem paru non kardiogenik
didapatkan bahwa awitan penyakit ini berbeda-beda, tetapi umumnya akan terjadi
secara cepat. Penderita sering sekali mengeluh tentang kesulitan bernapas atau
perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada. Biasanya terdapat batuk yang
sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna merah muda. Terdapat takipnue
serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya penderita tampak sangat pucat
dan mungkin sianosis2,3,4,5,6,18,19,20.
2.6.1
Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi
lanjutan). Takikardia, hipotensi atau teknan darah bisa meningkat. Pasien
biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas
dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan
terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang
menunjukan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat
inpsirasi, batuk dengan sputuk yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum)
serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah
lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer,
akral dingin dengan sianosis (sda). Dan pada edem paru non kardiogenik
didapatkan khas bahwa Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan
dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan bergelembung pada
bagian bawah dada4.
2.6.2
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang relevan
diperlukan untuk mengkaji etiologi edem paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya
pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic
Peptide (BNP). BNP dan prekursornya pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test
untuk menilai edem paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP
plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left ventricular
end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada
pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor
gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan
spesifitas 93% (Lorraine et al) . Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan
Pro BNP berkorelasi dengan LV filling pressure (pasquate 2004). Pemeriksaan BNP
ini menjadi salah satu tes diagnosis untuk menegakkan gagal jantung kronis
berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan
Amerika. Bukti penelitian menunjukan bahwa pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi
negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit penyakit lainnya.
Radiologi
Pada foto thorax menunjukan jantung
membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar
serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema
instrestisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi (Cremers 2010,
harun n saly 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax
postero-anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85% ditemukan 80% pada kasus edem paru. Sedangkan vena azygos
dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10
mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang
dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena
azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanay overload cairan6.
Garis kerley A merupakan garis linier
panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi
saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B
terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat
sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem septum interlobuler. Garis
kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu
pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah6.
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk
membedakan edem paru kardiogenik dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga
dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film10,22.
Ekhokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas
untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi
fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis
penyebab edem paru4,5,24,25.
EKG
Pemeriksaan EKG bias ormal atau
seringkali didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark miokard akut dengan edema
paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non
iskemik biasanya menunjukan gambaran gelombang T negative yang melebar dengan
QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil
dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui
tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain:
iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan
dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis
kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolic atau katekolamin4,5.
Katerisasi
Pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal
(pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku
emas untuk menentukan penyebab edem paru akut25.
Algoritma
diagnosis edem paru kardiogenik dan non kardiogenik24,25 :
2.7
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
edem paru non kardiogenik:
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus
dilakukan adalah :
- support
kardiovaskular
- terapi
cairan
- renal
support
- pengelolaan
sepsis b. Ventilasi
Menggunakan
ventlasi protective lung atau protocol ventilasi ARDS net
Pengobatan yang dilakukan di arahkan
terhadap penyakit primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut
disertai pengobatan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dan optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh
akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan2,15,16.
Pemberian oksigen sering berguna untuk
meringankan dan menghilangkan rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat
dicapai paling baik dengan memberikan tekanan positif terputus-putus. Kebutuhan
untuk intubasi dan ventilasi mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien
harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU)9,19.
Untuk mengoptimalkan oksigenasi
dapat dilakukan teknik-teknik ventilator,
yaitu
Positiveendexpiratorypressure
(PEEP) 25-15 mmH2O
dapat digunakan untuk mencegah alveoli menjadi kolaps. Tekanan jalan
napas yang tinggi yang terjadi pada ARDS dapat menyebabkan penurunan cairan
jantung dan peningkatan risiko barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan
tinggi yang dikombinasi dengan konsentrasi O2
yang tinggi sendiri dapat menyebabkan
kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan
terjadinya permeabilitas yang meningkat hingga timbul edema paru, sehingga
penerapannya harus hati-hati9,19.
Salah satu bentuk teknik ventilator yang
lain yaitu inverseratioventilation dapat memperpanjang fase inspirasi
sehingga transport oksigen dapat berlangsung lebih lama dengan tekanan yang
lebih rendah. extra corporeal membrane oxygenation (ECMO) menggunakan
membran eksternal artifisial untuk membantu transport oksigen dan membuang CO2.
Strategi terapi ventilasi ini tidak begitu banyak memberikan hasil yang
memuaskan untuk memperbaiki prognosis secara umum tapi mungkin bermanfaat pada
beberapa kasus9,18,20.
Optimalisasi fungsi hemodinamik
dilakukan dengan berbagai cara. Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal
berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan
retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal (nitric
oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu
mempertahankan keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah
untuk mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan transport oksigen yang optimal9.
Kebanyakan obat vasodilator arteri
pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan
perfusi organ yang terganggu, untuk itu penggunaanya harus hati-hati. Obat-obat
inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan
untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang cukup
terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik)9,19.
Inhalasi
NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena
diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang
menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang
terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan
demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh
hemoglobin sehingga mencegah reaksi sistemik (9)
Strategi
terapi suportif terkini yang dalam uji coba: (9)
1.
Perbaikan metode ventilator (beberapa
cara terbaru)
•
Lung–protective ventilation dengan
higher PEEP
•
Non
invasive positive pressure
ventilation
•
High
frequency ventilation
•
Tracheal gas
insuflation
•
Proportional-assistventilation
•
Inverse
ratioanairway pressureventilation-release d
1.
Surfactant replacement
therapy, dengan memakai aerosol surfaktan sintetis hasilnya mengecewakan,
tetapi dengan memakai natural mamalia surfactant dan perbaikan alat aerosol
terbukti memperbaiki stabilitas alveolar, mengurangi insidens
atelektasis/intrapulmonary shunting. Meningkatkan efek antibakterial dan
antiinflamasi.
2.
Extra corporeal gas exchange
3.
Prone positioning,
terbukti baik dalam oksigenasi karena terjadi shift perfusi dan perbaikan gas
exchage
4.
Fluorocarbon liquid-assisted gas
exchange
a.
fluorokortikoid dosis tinggi
b.
anti endotoxin monoclonal antibody
c.
anti TNF-a
d.
anti IL-1
e.
activated protein C
f.
antioksidan
g.
1. N-asetilsistein
2. prosistein
3. oxygen
free radical scavenger
4. precursor
flutathine
h. agonis/inhibitor
prostaglandin
i.
ketokonazol ® inhibitor daripada
tromboksan dan leukotrien/menekan
pembentukan
dan pelepasan TNF-a dari makrofag
j.
lisofilin dan pentoksifilin ® suatu
fosfordiesterase inhibitor memperlambat
kemotaksis neutrofil
k.
anti IL-8, platelet activating factor
inhibitor
l.
enhance resolution of alveolar edema
dengan vasopresor/b2 agonis
m. enhance
repair of IL alveolar epithelial barrier dengan hepatocyte growth factor danvkeratinocyte growth
factor’
Sasarannya adalah mencapai oksigenasi
adekuat, memelihara stabilitas hemodinamik dan mengurangi stress miokard dengan
menurunkan preload dan afterload.
Sistematikanya
:
- Posisi
setengah duduk
- Oksigen
terapi
- Morphin
IV 2,5 mg
- Diuretik
- Nitroglyserin
-
Inotropik
Bukti penelitian menunjukan bahwa
pilihan terapi yang terbaik adalah vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglyserin, nitropruside) dan diuretika dosis rendah. Nitrogliserin
merupakan terapi lini pertama pada semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik
> 95-100 mmHg dengan dosis 20 mikrogram/min sapai 200 mikrogram/min
(rekomendasi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah (< 0,5
mikogram/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED dan LVES tanpa
turunnya tekanan darah dan perfusi perifer. Bila dibandingkan dengan diuretik
maka nitroglycerin memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih efektif dalam
mengontrol edem paru berat dengan profil hemodinamik yang lebih stabil.
Penurunan wall stress dan LVEDP yang leih cepat tanpa menurunkan CO (24,25).
Berikut adalah algoritma penatalaksanaan
edem paru akut kardiogenik berdasarkan ESC 2012. Sistematikanya yakni sebagai
berikut (25):
1.
Pada pasien yang telah
mendapatkan pengobatan diuretic, dosis yang direkomendasikan sebesar 2,5x dari
dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat diulang jika diperlukan.
2.
O2 saturasi dengan
pulse oximeter<90 atau PaO2<60 dapat diberikan, yang terkait dengan
peningkatan resiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan
secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan curah jantung.
3.
Biasanya dimulai dengan
O2 40-60% dititrasi sampai SaO2 > 90%, hati-hati pada pasien yang mempunyai
resiko retensi CO2.
4.
Contoh, pemberian
morfin 4-8 mg ditambah metoclopramide 10 mg, observasi adanya depresi
pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5.
Akral dingin, tekanan
darah rendah, produksi urine yang sedikit, bingung/kesadaran menurun, iskemik
miokardial.
6.
Contoh, mulai pemberian
infus dobutamine 2,5 mikrogr/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit
tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia
atau iskemik). Dosis>20 mikrogr/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan
dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dati
stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7.
Pasien harus
diobservasi ketat secara regular (gejala, denyut dan ritme jantung SpO2,
tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8.
Contoh, mulai pemberian
infus NGT 10 mikrogram/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit
tergantung respon, biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi.
Dosis>100 mikrogram/min jarang sekali diperlukan.
9.
Respon yang adekuat
ditandai dengan berkurangnya dyspnea, diuresis yang adekuat (produksi urine
>100 ml/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 dan biasanya
terjadi peurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya
terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan
seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu
kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
10.
Setelah pasien nyaman
dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi IV dengan pengobatan
diuretic oral
11.
Menilai gejala yang
relevan dengan HF (dypnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea),
komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping
pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edem
perier dan paru, denyut dan irama jantug, tekanan darah, perfusi perifer,
frekuensi pernafasan serta usaha pernafasan. EKG (ritme/iskemia dan infark) dan
kimia darah/ hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus
diperiksa. Pulse oxymetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa
dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12.
Produksi urine < 100
ml/jam dalam 1-2 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretic IV yang
tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13.
Pada pasien dengan
tekanan darah masih rendah/ shock, dipertimbangkan diagnosis alternative
(emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat
(terutama stenosis aorta). Kateterisasi artei paru dapat mengnditifikasi pasien
dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat (lebih tepat dalam
menyesuaikan terapi vasoaktif)
14.
Balon pompa intra aorta
atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan pada pasien yang
tidak terdapat kontraindikasi
15.
CPAP dan NIPPV harus
dipertimbagkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi. Ventilasi
non-invasif continuous positive airway pressure dan non-invasive intermittent
positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai
fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru
akut. Namun, penelitian RCT besar yang terbaru menunjukan bahwa ventilasi
non-invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka
kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90%
dari pasien) dan opiate (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan
penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil.
Ventilasi non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringanan
gejala pada pasien dengan edem paru dan gangguan pernafasan parah atau pada
pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi
untuk penggunaan ventilasi non invasive meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan
pneumothorax dan depressed consciousness.
16.
Dipertimbangkan untuk
dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasive jika
hipoksemia memburuk, gagal upaya pernafasan, meningkatnya kebingungan/penurunan
tingkat kesadaran, dll.
17.
Meningkatkan dosis loop diuretic hingga
setara dengan furosemide 500 mg
18.
Jika tidak ada respon
terhadap penggandaan dosis diuretic meskipun tekanan pengisian ventrikel kiri
adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus
dopamine 2,5 mikrogram/kg/menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk
meningkatkan diuresis
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi edem paru maka ultrafiltasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan.
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit dasar
dan faktor penyebab/pencetus yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian
telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya edema paru nonkardiogenik
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan pengobatan, dan teknik
ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%.
Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan
disfungsi pada proses difusi gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali
dengan cukup baik walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang
lama(2,3,9,19,20,23).
PENUTUP
Edemparu bias
dibagimenjadikardiogenikdan non kardiogenik. Edema paru non kardiogenik terjadi
akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam
ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada
jantung. Kelainan tersebut bisa diakibatkan oleh peningkatan tekanan
hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik (osmotik) antara kapiler paru dan
alveoli, dan terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler paru yang bisa
disebabkan berbagai macam penyakit atau yang sering disebut dengan acute
respiratory distress syndrom.Sedangkanpadakardiogenikatau edem paru hidrostatik
atau edem hemodinamikkarenainfark miokars, hipertensi, penyakit jantung
katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan lainnya.
Gambaran klinis yang didapat dapat
berupa kesulitan bernapas atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada dada.
Biasanya terdapat batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan berwarna
merah muda. Terdapat takipne serta denyut nadi yang cepat dan lemah, biasanya
penderita tampak sangat pucat dan mungkin sianosis. Pada pemeriksaan fisik,
pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki
basah dan bergelembung pada bagian bawah dada
Pada pemeriksaan foto toraks
memperlihatkan adanya infiltrat-infiltrat bilateral yang difus, kadang-kadang
satu paru-paru terserang lebih hebat dari paru-paru lainnya. Pemeriksaan
analisa gas darah dan CT Scan toraks juga dapat membantu menegakkan diagnosis
serta
memberikan
petunjuk dalam pengobatan.Termasukjikakardiogenik, perlupemeriksaan EKG
danEkhokhardiografi.
Pengobatan edema paru ditujukan kepada
penyakit primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai
pengobatan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat (dengan
pemberian oksigen dengan teknik-teknik ventilator) dan optimalisasi hemodinamik
(retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal).
1.
Harun S dan Sally N. EdemParuAkut.
2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor.
BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th
ed. Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversitas
Indonesia. p. 1651-3.
2.
Soemantri. 2011. Cardiogenic
Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB XXVI IlmuPenyakitDalam 2011.
FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
3.
Alasdair et al. Noninvasive
Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008; 359:
142-51.
4.
Lorraine et al. Acute
Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.
5.
Maria I. 2010. PenatalaksanaanEdemParupadaKasus
VSD dan Sepsis VAP. Anestesia& Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010
p.52.
6. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A,.N EnglB JandM2009;360:15CLine.
7.
Pasquate et al. Plasma
Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation
2004; 110: 1091-6.
8.
Wilson LM. Penyakit
Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
(Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa:
Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995; 722-3.
9.
Amin Z, Ranitya R. Penatalaksanaan
Terkini ARDS. Update: Maret 2006. Availablefrom:URL: http://www.interna.fk.ui.ac.id/artikel/darurat2006/dar2_01.html
10.
Soewondo A, Amin Z. Edema
Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1998; 767-72.
11.
Behrman RE, Vaughan VC.
Ilmu Kesehatan Anak –Nelson. Nelson WE, Ed. Edisi ke-12. Bagian
ke-2. EGC. Jakarta. 1993; 651-52.
12.
Amin M, Alsagaff H,
Saleh WBMT. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.
Surabaya. 1995; 128-30.
13.
Wilson LM. Fungsi
Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi
IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995; 645-48.
14.
Behrman RE, Vaughan VC.
Ilmu Kesehatan Anak –Nelson. Nelson WE, Ed. Edisi ke-12. Bagian ke-3.
EGC. Jakarta. 1993; 80-81.
15. Moss M,
Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In:
Harrison, Faet al.
Harrison’seofInternalMedicinePrincipl15EditiononCD-ROM.
McGraw-Hill
Companies.
Copyright 2001.
16.
MMc. Oedema, Noncardiogenic. The Encyclopaedia of Medical Imaging Volume
VII. Update: 2007. Available from: URL: http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20VII/OEDEMA%20NON CARDIOGENIC.asp.
17.
LG, NK. Pulmonary Oedema. The Encyclopaedia of Medical Imaging Volume
V.1. Update: 2008. Available from: URL: http://www.amershamhealth.com/medcyclopaedia/Volume%20V%201/pulmonary%20oe dema.asp
18. Gomersall
C. Noncardiogenic Pulmonary Oedema. Update: June 2009. Available from:
URL: http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oedema.
Htm.
19.
Haslet C. Pulmonary
Oedema Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Grassi C, Brambilla C,
Costabel U, Naeije R, Editors. Pulmonary Disease. McGrow-Hill International
(UK) ltd. London. 1999; 766-89.
20.
Prihatiningsih B. Pengaruh
dan Bahaya Gas Phosgene Terhadap Pernafasan (Paru-Paru) Manusia. Update:
2009. Available from: URL: http://www.diagonal.
unmer.ac.id /edisi2_3/abstrak2_3_7.html.
21.
Ayus JC, Varon J,
Arieff AI. Hyponatremia, Cerebral Edema, and Noncardiogenic Pulmonary
Edema in Marathon Runners. Annals of Internal Medicine. 2 May 2000. Volume
132. Number 9; 711-14.
22.
Gribert FA, Bayat S. Pulmonary
edema (Including ARDS). In: Douglas S, Anthoni S, Leitch AG,
Crofton, Editors. Respiratory Disease. Vol II. Blackwell Science. London.
23.
Simadibrata M, Setiati
S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman Diagnosis dan Terapi
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208
24.
ESC. 2008. Guideline
for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008.
European Heart Journal. 2008;33:2388-442.
25.
ESC. 2012. Guideline
for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012.
European Heart Journal. 2012;33:1787-47.